Jenlap Legara Pegiat Literasi & Filsafat Islam NTB |
Putusan MK yang diketuk awal tahun ini, menunjukan harapan baru untuk perbaikan sistem demokrasi dan partisipatif politik dalam kontestasi yang selama ini dibawah bayang-bayang Presidential Threshold dengan nyata mengingkari kedaulatan rakyat dan jauh dari sistem politik yg inklusif. Selama satu dekade terakhir, perjalanan demokrasi dan peradilan hukum terus mengalami regresi dan pembusukan, putusan ini diharapkan mampu mengikis dominasi elite kriminal dan oligarki yang selama ini merusak sistem politik dan Pemilu serta membelenggu demokrasi hukum dan ekonomi.
Putusan ini tidak membongkar sepenuhnya problem politik yang tidak berpihak pada kerakyatan dan demokrasi yang substantif. Kendati demikian, Teori hukum responsif terbukti dalam putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis (2/1/2025) lalu. Meskipun terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh, tujuh hakim Mahkamah Konstitusi lainnya mengabulkan permohonan pengujian UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 222 tentang Presidential Treshold (Pres T). Hal menarik dari putusan setebal 283 halaman tersebut yaitu MK mengakui ‘khilaf’, ‘sesat nalar’ dan pendiriannya selama ini yang selalu berlindung pada doktrin “Presidential Treshold sebagai open legal policy pembentuk undang-undang (Pemilu)”.
Dalam pertimbangannya pada halaman 274 putusan, MK tidak hanya mengakui adanya pergeseran pendirian tersebut, yang tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, namun juga mengakui jika (Pres T) berapapun besaran atau angka persentasenya – bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945. Pergeseran pendirian tersebut secara konstitusional sudah tepat, mengingat sebelum putusan a quo (keputusan final dan mengikat), telah ada 36 (tiga puluh enam) PUU (pengujian undang-undang) terkait Presidential Threshold dalam UU Pemilu, dan jika dibaca kembali beberapa argumentasi atau dalil permohonan dalam beberapa PUU sebelum putusan a quo, substansinya sama, mendalilkan jika Pres T bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 karena melanggar hak sipil-politik, bertentangan dengan asas daulat rakyat dalam Negara demokrasi. Tidak kurang kajian filosofi, teori pakar dan pendapat ahli dimasukan dalam permohonan, tapi tetap saja ditolak MK sebelum putusan a quo keluar.
Presidential Threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (hlm 274 putusan). Pada halaman 271 putusan, tersirat kekhawatiran MK jika apabila ketentuan Presidential Threshold ini dipertahankan, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon, bahkan calon tunggal sebagaimana fenomena yang terjadi pada pemilihan kepala daerah. Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden. Luar biasanya, karena PUU (Pengujian Undang-Undang) ini diajukan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Empat generasi emas bangsa dalam “Generasi Z’ atau “Gen Z”, istilah yang dipopulerkan oleh Bruce Horovitz, seorang jurnalis.
Presidential Threshold sebagai Pembajakan Konstitusi
Diluar dalil permohonan dan pertimbangan MK, saya menambahkan jika Presidential Threshold selama ini adalah bentuk “pembajakan konstitusi” oleh segelintir elit parpol dan pengusaha dalam “rulling oligarchy” yang tidak ingin kue (jatah)nya dibagi ke parpol lain. Dengan Presidential Threshold, mereka mengendalikan distribusi sumberdaya politik dan ekonomi hanya pada lingkaran mereka saja. Dengan demikian, sumbu kekuasaan tetap melingkar pada figur-figur tertentu saja yang sudah dipersiapkan oleh para oligarki itu. Terbukti dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 lalu. Mereka tidak hanya membajak konstitusi, tapi juga ‘murtad’ konstitusi. Saya sebut murtad karena Pasal 6A UUD Tahu 1945 adalah pasal yang mewakili semangat reformasi, pasal yang diperjuangkan dalam perubahan ketiga UUD Tahun 1945.
Mengingkari dengan menambahkan syarat lain (Pres T) dalam UU Pemilu adalah sikap murtad dari konstitusi. Pasal 6A UUD Tahun 1945 menghendaki dibaca secara otentik, bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, tidak boleh ditafsirkan lain dengan menambahkan syarat dukungan partai. Itu murtad konstitusi namanya, dan parahnya, murtadnya berjamaah (sesama yg merasa untung). Bagaimana mungkin UU (Pemilu) merasa lebih tinggi, lebih jumawa dari UUD Tahun 1945? “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya”, dalam Pasal 222 UU Pemilu itu murtad konstitusi namanya.
Untunglah MK bangun dari ‘tidur panjang’nya. 36 PUU (Pengujian Undang-Undang), plus PUU dalam putusan a quo (final dan mengikat) mengingatkan Mk akan kekhilafan dan sesat nalarnya selama ini. Sebagai lembaga yang dijuluki “pengawal konstitusi” (the guardian of constitution), sudah sewajarnya MK menjaga marwah konstitusi, marwah daulat rakyat dan demokrasi, dengan keluar dari “barisan para pembajak konstitusi”. Agar MK tidak terjerumus dari dosa konstitusi yang lebih besar apabila tetap diam pada pendiriannya bahwa Pres T sebagai open legal policy pembentuk undang-undang (Pemilu). Sebagai satu-satunya jabatan yang pemangku jabatannya disebut “negarawan” – bahkan Presiden pun tidak disyaratkan harus seorang negarawan – sudah sepantasnya putusan MK berciri negarawan pula. Sudah sepatutnya MK menghargai perjuangan masyarakat sipil yang tak kenal lelah terus menerus mengajukan PUU Pemilu menyangkut Pres T sebagai siasat melanggengkan kekuasaan politik., dan sudah sepatutnya MK meneguhkan dirinya sebagai pengawal dan penafsir tunggal konstitusi.
Mewaspadai Siasat DPR
Pasca pengetukan putusan penghapusan Presidential Threshold dalam putusan a quo, hal yang perlu dikawal adalah memastikan DPR dan pemerintah patuh pada putusan MK (tidak menganulir/membegal), Sebagai putusan yang sifatnya erga omnes, final dan mengikat (binding), DPR dan pemerintah wajib merevisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan menghapus syarat Presidential Threshold. Dengan demikian, tercipta kompetisi yang adil dari parpol peserta pemilu yang diberi kebebasan mengusung capres-cawapresnya tanpa harus ,”tersandera oleh syarat Presidential Threshold, Masyarakat disuguhi menu prasmanan pilihan capres-cawapres tanpa harus dibatasi dengan 1-2 pilihan capres-cawapres dalam rezim Pres T selama ini.
Mengapa perlu dikawal, karena DPR suka ngeles dan tidak jarang mengabaikan putusan MK yang memerintahkan perubahan, baik sebagian atau seluruhnya pada undang-undang yang dinyatakan konstitusional. Misalnya pada putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024. Putusan itu masing-masing soal syarat usia pencalonan kepala daerah dan ambang batas partai politik untuk mencalonkan kepala daerah. Masyarakat sipil wajib mengawal putusan ini dipatuhi oleh pemerintah dan DPR sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam merumuskan, mengesahkan dan mengesahkan undang-undang. Putusan a quo harus dijalankan oleh pemerintah dan DPR sebagai bentuk kepatuhan hukum yang harus ditunjukan oleh lembaga Negara kepada rakyatnya. Keduanya harus menunjukan sikap menghormati hukum dengan menjalankan putusan mk tanpa syarat dan tanpa siasat akal-akalan sebagaimana pembangkangan DPR dalam menindaklanjuti sejumlah putusan MK. (*)