IMMawan Amin Rais Sekretaris Umum PC IMM Dompu |
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% merupakan langkah strategis yang diambil pemerintah dengan landasan hukum yang kuat, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara demi pembiayaan pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam sistem demokrasi, kenaikan pajak seharusnya tidak menjadi momok yang menakutkan. Demokrasi, pada prinsipnya, adalah sistem pemerintahan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Contoh nyata dapat dilihat pada Finlandia, negara dengan tingkat keamanan dan integritas yang tinggi di berbagai sektor seperti pendidikan, ekonomi, dan pelayanan publik. Di Finlandia, tarif pajak yang mencapai 25% hingga 30% tidak memicu polemik, karena pemerintah berhasil memastikan bahwa pajak tersebut dikembalikan dalam bentuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Tingkat kepercayaan rakyat yang tinggi menjadi fondasi kokoh yang mendukung kebijakan pajak di negara tersebut.
Namun, situasi di Indonesia berbeda. Kenaikan PPN sebesar 12% memicu polemik dan kekhawatiran besar di tengah masyarakat. Mengapa? Jawabannya terletak pada rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Pemerintah dinilai belum mampu menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata. Pajak, yang seharusnya menjadi instrumen pembangunan dan pemberdayaan rakyat, kerap kali dianggap tidak memberikan manfaat signifikan bagi kelompok masyarakat kelas bawah.
Pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan akses hukum dinilai jauh dari memadai. Bahkan, banyak yang merasa bahwa pajak hanya menguntungkan segelintir elite penguasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pejabat pemerintah menikmati fasilitas mewah seperti mobil dinas, rumah megah, makanan bergizi, dan jaminan keamanan, sementara rakyat kecil sering terabaikan, terlantar, bahkan hidup dalam kelaparan. Situasi ini menciptakan kesenjangan yang begitu mencolok dan menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia masih layak disebut negara demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?"
Narasi yang lebih realistis tampaknya adalah "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk penguasa." Ini adalah cermin buram dari kondisi demokrasi yang kehilangan esensinya. Ke depan, pemerintah perlu menyadari bahwa kenaikan pajak, betapapun strategisnya, harus disertai dengan peningkatan nyata dalam pelayanan dan keadilan sosial. Kepercayaan rakyat adalah kunci utama dalam menjembatani kebijakan dengan penerimaan publik. Tanpa kepercayaan tersebut, kebijakan apa pun hanya akan menjadi polemik yang mengguncang fondasi demokrasi itu sendiri.
Tags
Opini