Pluralisme Dalam Praksis Pendidikan di Muhammadiyah

Nurul Khotimah

Muhammadiyah adalah gerakan Islam berbasis Aqidah Islam dan berbasis Al-Qur'an dan Sunnah. Didirikan oleh KH. A. Dahlan di Kota Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah atau 18 November 1912 Miladiyah.  berdasarkan historisnya, gerakan ini diberi nama Muhammadiyah dengan maksud untuk dapat mencontoh dan meneladani perjuangannya untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam demi terwujudnya 'Ihzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam dan kemuliaan hidup umat Islam.

Saat ini, Muhammadiyah telah berkembang menjadi organisasi yang memiliki pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Muhammadiyah awalnya didirikan oleh kelompok Islam, tetapi mampu berkembang seiring waktu sehingga menjadi mudah diterima oleh semua bagian masyarakat Indonesia. Banyak hal yang mendorong kemajuan Muhammadiyah, termasuk visi-misi, konsep pendidikan, tujuan, dan kurikulum yang saling berkesinambungan yang memungkinkan Muhammadiyah berinteraksi dengan masyarakat dengan baik. Sebagai pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan berharap pembaharuan yang ia bawakan dapat meningkatkan kehidupan bangsa dan mencerahkan karakter bangsa.

Menurut pemikiran Abdul Mu'ti, pendirian pendidikan Muhammadiyah didasarkan pada keyakinan teologis bahwa manusia hanya dapat mencapai keamanan dan ketaqwaan yang sempurna jika mereka memiliki pengetahuan yang cukup. Hal inilah yang menurutnya mendorong KH. Ahmad Dahlan membangun ruang pendidikan di depan rumahnya.

Kontribusi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan Indonesia dapat dilihat dari jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang ada di berbagai wilayah. Muhammadiyah memiliki 1094 Sekolah Dasar (SD), 1128 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 558 Sekolah Menengah Atas (SMA), 554 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan 171 Perguruan Tinggi. Hal ini menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki peran penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kontribusi nyata tersebut memiliki beberapa tantangan yang dihadapi dalam prosesnya, salah satunya adalah bentuk pluralisme dalam dunia pendidikan.

Pluralisme memiliki akar kata plural yang memiliki arti sesuatu bentuk yang lebih dari satu. Dalam pandangan umum, pluralisme memiliki beberapa konteks cakupan yang terkandung di dalamnya yaitu ditafsirkan pada kelompok masyarakat yang hidup dalam ras, agama, kepercayaan, dan pilihan politik, juga dimaknai sebagai prinsip yang dipegang oleh kelompok masyarakat untuk hidup damai dan berdampingan dalam suatu negara, serta dapat membangun toleransi bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk eksis.

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Abdul Aziz Sachedina yang menyatakan bahwa pluralisme adalah satu diantara kata yang singkat untuk menggambarkan tatanan dunia baru yang didalamnya terdapat perbedaan budaya, sistem kepercayaan, serta nilai-nilai yang perlu disadari dengan tujuan agar masyarakat dapat hidup berdamai dalam perbedaan yang beragam. Namun disisi lain, sebagaimana dalam pandangan Rachman menjelaskan bahwa pluralisme tidak hanya dimaknai sebagai masyarakat majemuk yang beraneka ragam suku dan budaya saja tetapi dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan yang terjaga dalam bingkai keadaban.

Pluralisme dapat didefinisikan sebagai paham yang mengindahkan keberagaman majemuk, usaha aktif dalam mewujudkan toleransi, dan pertautan komitmen antara kereligiusitasan serta hal-hal yang bersifat sekuler. Pluralisme merupakan sebuah ikatan bukan pengkhususan atau pelepasan ideologi perbedaan dengan tujuan menciptakan masyarakat madani secara bersama-sama. Berdasarkan realita sosial yang terjadi hari ini, fenomena pluralisme dapat terjadi di berbagai sektor tidak terlepas pada bidang pendidikan di Muhammadiyah.

Sudah sewajarnya bahwa pluralisme Indonesia menjadi dasar pemahaman setiap warga negara. Karena itu, sangat menyedihkan bahwa pluralisme malah digunakan untuk mempromosikan bidang politik, sosial, dan bahkan agama. Pluralisme seharusnya mengkristalisasi sifat bangsa yang toleran dan terbuka, bukan sebaliknya. Semakin banyak konflik masyarakat yang berfokus pada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) menunjukkan bahwa kita sedang mengalami masa ujian kebhinekaan yang akan mengakhiri kemajemukan. Sepertinya pembentukan jati diri bangsa perlu digaungkan kembali di berbagai lembaga pendidikan, termasuk dalam lembaga pendidikan yang dinaungi oleh Muhammadiyah.

Keberfungsian pendidikan Muhammadiyah untuk menyatukan orang-orang yang beragam secara kultural dan agama. Muhammadiyah menyediakan pendidikan yang inklusif bagi siswa dari semua agama, termasuk muslim dan non-muslim, santri baik laki-laki dan perempuan. Pendidikan dapat menjadi tempat di mana siswa dari berbagai latar belakang agama bertemu dapat bergabung untuk menempuh dan menjamah pendidikan yang sama. Pelajaran agama islam yang ditawarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kweek School terbuka untuk semua siswa, baik yang beragama Islam maupun yang tidak. Hal ini merupakan bentuk sederhana dari perwujudan gerakan islam yang bersifat modernisasi.

Konsep pluralisme sangat penting dalam praktik pendidikan Muhammadiyah karena membantu membuat lingkungan yang inklusif untuk berbagai latar belakang dan keyakinan. Sebagai salah satu kelompok Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah memiliki perspektif yang inklusif dan menghargai perbedaan dalam pendidikan.

Pages: 1 2

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak