Nurul Khotimah |
Egalitarian diambil dari kata “egaliter” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti bersifat sama atau sederajat. Egalitarian bisa disebut sebagai salah satu elemen dari suatu masyarakat madani. Egalitarian merupakan suatu kata sifat bagi individu yang ditunjukkan melalui perilaku dan keyakinan tentang persamaan derajat manusia. Jika makna masyarakat adalah perkumpulan dari beberapa individu, maka masyarakat yang egaliter merupakan tatanan masyarakat yang menunjukkan perilaku dan berkomitmen bahwa setiap individu itu mempunyai persamaan hak dalam berbagai hal yaitu seperti kesejahteraan hidup dan memperoleh kesempatan yang sama dalam hal apapun.
Istilah kata egalitarian muncul pada saat peristiwa di Prancis, yaitu peristiwa Revolusi Perancis yang dikenal dengan sebutan Déclaration des Droits de I’homme et du Citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara), pernyataan yang kemudian dicantumkan dalam konstitusi Perancis pada tahun 1789 dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite (Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan).
Jeremy Moss dalam Journal of Ethics and Social Philosophy mengutip pendapat Derek Parfit bahwa konsep egalitarianisme terbagi menjadi dua bagian. Pertama, helic Egalitarianisme: Nilai kesetaraan dianggap berada dalam dirinya sendiri. Hal ini menandakan bahwa hal itu secara esensial adalah setara. Kedua, Deontic Egalitarianisme: Nilai kesetaraan itu bergantung pada kondisi moral di mana ia berada sehingga ia dapat berubah-ubah.
Di dalam Quran sendiri juga telah disebutkan dalam surat Al Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia! sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah maha mengetahui, maha teliti.” (Q.S.Al Hujurat(13):49)”. Ayat tersebut menerjemahkan tentang hilangnya strata atau kelas sosial antar sesama manusia. Semua manusia itu sama dan harus setara. Yang membuatnya berbeda adalah ketakwaan dihadapan Allah. Ada banyak data sejarah yang menunjukkan kesetaraan dalam Islam salah satu sejarah itu diabadikan di dalam Quran pada surat ‘Abasa. Surat itu mengkisahkan teguran Allah SWT kepada Muhammad atas tindakan selfish nya yang lebih memilih orang kaya dan menanggalkan keberadaan orang miskin. Contoh lain seperti Khadijah Radhiallahu ‘anha lahir pada tahun 555 M di Arab Saudi. Sebelum menikah dengan Rasulullah, ia adalah seorang pedagang wanita sukses dan tokoh yang dihormati di Makkah. Ia juga dikenal karena kecerdasan, ketajaman bisnis, dan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap keadilan sosial. Hal ini tentu menandakan keberdayaan Perempuan di masa itu.
Muhammadiyah Memandang Egalitarisme
Meneropong lebih jauh bagaimana Muhammadiyah memandang egaliter, satu diantaranya adalah didirikan Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiah. Berdirinya Aisyiah tidak terlepas langkah Muhammadiyah itu sendiri. Sejak awal KH. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah sangat peduli terhadap pemberdayaan perempuan agar berperan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Dengan ortom tersebut, Muhammadiyah memandang bahwa perempuan juga berpotensi untuk aktif dalam menggerakkan organisasi yang kala itu didominasi oleh kaum laki- laki.
Beberapa kader perempuan yang kala itu pernah didik oleh Kyai Dahlan antara lain Siti Badriah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Dawingah, dan Siti Badingah Zubair. Bersama dengan Nyai Walidah, istri beliau, Kyai Dahlan membentuk lingkar pengajian yang kemudian dikenal dengan Sopo Tresno. Lingkar pengajian ini merupakan cikal bakal berdirinya organisasi sayap perempuan Muhammadiyah Aisyiah.
Kesetaraan hak perempuan dengan laki- laki dalam peran- peran publik bukanlah hal yang asing di lingkungan Muhammadiyah. Dengan kenyataan tersebut, Muhammadiyah sudah semestinya menjadi lingkungan yang ramah terhadap pembinaan dan pemberdayaan potensi perempuan agar mampu berperan lebih luas dalam wilayah publik. Perempuan sudah semestinya memberikan warna yang tegas dalam langgam pergerakan Muhammadiyah di ranah sosial. Disamping itu, Muhammadiyah juga semestinya memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap persoalan diskriminasi dan tindak kriminalitas yang menjadikan perempuan sebagai korban di tengah masyarakat.
Dalam putusan tanfidz Muhammadiyah tahun 2010, dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baiknya bentuk sebagai makhluk yang sempurna dan terhormat, didasarkan pada QS At-Taubah ; 71. Pemaknaan terhadap ar-rijalu qowwamuna alan-nisa’, bahwa konsep ar-rijal disini tidak diperuntukkan untuk laki-laki tetapi kepada (suami), hal ini terlihat dengan kajian lanjutan ayat yang membahas mengenai suami. Sehingga tidak ada kaitannya dengan kedudukan diluar pernikahan.
Muhammadiyah memandang fitrah perempuan tidak hanya secara biologis tetapi juga dalam hal kedudukan, berperan melakukan kebaikan. Perlu diketahui bahwa al-Qur’an telah menyebutkan bahwasanya perempuan dan laki-laki setara derajatnya di hadapan Allah (Q.S. al-Hujurat (49): 13), (Q.S. an-Nahl (16): 97), perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi (Q.S. an-Nisa (4): 124), (Q.S. an-Nahl (16): 97). Perempuan dan laki-laki sama-sama diperintah untuk berbuat kebajikan (Q.S. at-Taubah (9): 71). Dari ayat-ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan perempuan dan mensejajarkannya dengan laki-laki.
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [QS. an-Nisa’ (4): 34] (ayat kontroversi perempuan tidak bisa jadi pemimpin).
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْ أَمْرَهُمْ إِمْرَأَةٌ
Artinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” [HR. al-Bukhari, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ahmad]
Sedangkan ‘illat dari pernyataan Rasulullah saw itu adalah kondisi wanita pada waktu itu belum memungkinkan mereka untuk menangani urusan kemasyarakatan, karena ketiadaan pengetahuan dan pengalaman, sedangkan pada zaman sekarang sudah banyak wanita yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai urusan tersebut.