Petahana Pecah Kongsi ; For The Lust Of Power

Oleh : Jenlap Legara

Diatas panggung politik kerap kali terdengar para elit politisi mengemukakan gagasan dan ide perubahan serta emosi dihadapan publik dengan citra atau topeng retorika ingin mengabdi untuk bangsa dan rakyat. Sekalipun itu mampu meninabobokan sebagian rakyat tapi tidak dengan para kaum cendekiawan yang cenderung mempresepsikan segala bentuk narasi elit-elit politik (oligarki,borjuasi) tiada lain adalah kebohongan, kemunafikan dan dusta yg dibungkus dibalik kata pengabdian dan pengorbanan, yang berakhir dengan perebutan tahta kekuasaan semata.

Dalam dinamika Pilkada serentak yang semakin dekat, terjadi berbagai manuver politik para elit. Di setiap daerah lebih-lebih NTB Pelbagai koalisi pun bergoyang, bahkan ada yang pecah kongsi seperti (antara supir dan kornet angkot). Kesetiaan dan komitmen politik pun semakin menguap, lompat pagar dan Lenyap.

Pisah jalan kedua elit politik mantan gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Barat menampakan arti pada kita semua dan secara subjektif pemikir berhak menginterpretasikan situasi politik pecah kongsi kedua public figure saat ini melalu metodelogi kritis dan perspektif analisis neraca yang ia kehendaki.

Tak heran bagi kita, secara historical situasi politik tentu mengalami pecah kongsi dan ini bukan yang pertama kali. Yang menjadi tanya kita secara bersama bahwa, pisah jalan tentu melalui kehendak masing-masing yang dilegitimasi oleh hak demokratis setiap undividu. Namun, ada hal yang menarik begitu menggelitik dipikirkan publik atas pisah jalan kedua public figure yang telah bersama berjuang selama 5 tahun memimpin daerah.

Calon pemimpin sekarang banyak politisi namun miskin negarawan. Banyak yang menjadi politisi dan menyusup ke tubuh partai lalu mendeklarasikan dirinya sebagai calon pemimpin tiada lain hanya untuk mencari keteduhan ekonomi dan menjadikan jalan politik sebagai lahan investasi untuk meraut profit kapital sebanyak-banyaknya. Secara dangkal kita hendak mempersepsikan keinginan berkuasa kedua figur itu, tiada lain atas kehendak partai dan dorongan eksternal serta internalnya.

Pisah Jalan Karena Syahwat Kekuasaan Bukan Pengabdian.

Rasanya Pilgub hanya sebuah euforia semata tanpa perubahan substansial kepemimpinan. Melihat kandidat figur yang berasal dari gerbong yg pernah bersama dalam status politik. Dalam artian hanya narasi gagasan dan ide futuristik lah yang diperbaharui namun praktiknya tetap sama sepeti yang dahulu, walau konstituen atau pasangan wakil yang kemudian berbeda tetap saja wakil adalah jabatan yang kemudian tidak punya legitimasi penuh atas penentuan kebijakan publik. Padahal orientasi pemilu yang kita harapkan dalam demokrasi bagaimana upaya penggunaan kedaulatan politik setiap masyarakat dalam menggunakan hak pilih tuk memilih pemimpin yang dapat mentransformasikan perubahan nasib suatu daerah demi daerah yang lebih baik dan maju sekaligus pemilu adalah upaya kita mereformasi rezim secara kompeherensif. Namun rasanya tidak dengan fakta Pilgub NTB yg akan kita hadapi saat ini serta bagaimana substansi perubahan yg Nol resultante nya.

Kata marx, setiap sosok petahanan cenderung memperluas dan mempertahankan kekuasaan secara mutlak dengan berkuasa kembali menggunakan cara apapun agar tercapai. Hasrat alamiah itu dapat terjadi dimana-mana termasuk ketika Soekarno didorong oleh pengagumnya agar berkuasa seumur hidup, atau Soeharto yang dipertahankan kroninya selama kurang lebih 32 tahun.

Sirkuslasi elit politik di NTB sedang terjadi, Menegaskan Ketidak puasan Rohmi atas penentuan keputusan public policy dan keterbatasan ruang politik Rohmi yang hanya memiliki status sekedar sebagai jabatan apabila (wakil adalah jabatan apabila) serta keinginan Rohmi untuk merasakan menjadi orang yang berkuasa dan kehendak seutuhnya menyebabkan ia harus memilih pisah jalan. Tentu, hal lain juga menjadi sebab sebagian atas keputusan tersebut dan bisa jadi ketidaksukaaan atau tiadanya cimestry Rohmi bersama supirnya (Zul) dalam menjalankan tugasnya ini membuat rohmi lompat pagar mencari sosok konstituen dengan melalui hitung-hitungan politik kuantitas dan kapabilitas.

Hal demikian tidak membuat Zul (Mantan Gubernur) merasa keberatan atas kawan yang menjadi lawan (lompat pagar) dan Zul pun punya analisis politiknya sendiri dalam menghadapi situasi ini. Satu sisi Zul (kala menjabat Gubernur) adalah sosok pemimpin yang tidak tau malu dan tidak tau diri bahkan berdusta atas ucapannya sendiri. Dalam sebuah podcast Zul hendak ditanyakan apakah ia punya keinginan atau niat untuk melanjutkan periodesasi kepemimpinan tentu dia menjawab tidak ada keinginan sama sakali. Realitas waktu mengungkap dan membantah atas pernyataannya sendiri yang menampakan ia tetap lanjut untuk memenuhi libido nya untuk berkuasa. Pemimpin yang tidak konsistensi tak pantas untuk dipilih sebab ucapannya sendiri saja ia ingkari, lantas bagaiaman dengan janjinya terhadap rakyat. Seyogyanya ucapan dan tindakan harus selaras dan konsistensi harus menjadi dasar prinsip sosok pemimpin.

Menurut filosof Jerman, Friedrich Nietzsche, hasrat paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk berkuasa the will to power.

Percaya atau tidak, ditengah hasrat yang membabi buta atas kekuasaan yang  didambakan & dikejar oleh Zul dan Rohmi saat ini begitu banyak kegagalan yang mereka capai serta begitu kompleks problem di Nusa Tenggara Barat yang tak mampu diselesaikan selama masa kepemimpinan kedua figur ini. Berbagai ratusan media massa menampilkan literatur/berita problem di NTB, baik masalah pemberdayaan manusia, infrastruktur jalan & jembatan, kemiskinan serta indek pengangguran, pendidikan dan kesehatan hingga penggusuran masyarakat ada di sirkuit mandalika. Seharusnya mereka belajar secara perjalanan histori kepemimpinan politik nasional bangsa Indonesia, dimana akhir masa kepemimpinan Presiden Bj. habibi yang melakukan Laporan Pertanggung Jawaban dihadapan MPR namun ditolak sehingga membuat dirinya tau diri dan punya malu. Hal demikian menjadi sebab dirinya untuk tidak melanjutkan kepemimpinannya dalam mencalonkan diri lagi kedepanya sebagai presiden akibat berbabagi masalah negara yg tak bisa ia atasi dan selesaikan. Tentunya hal demikian harus menjadi cermin bagi para elit politik atau pejabat public dalam mengoreksi diri untuk menanamkan rasa malu dan tau diri pada rakyat.

Prinsip Moral & Etika politik seharusnya menjadi dasar pijakan bagi para pemimpin agar mereka tidak diselimuti oleh syahwat berkuasa. Kejujuran, tanggung jawab, Tau diri dan konsistensi atas ucapan itu sekiranya harus dijadikan pilar berpolitik bukan malah keinginan dan ego kelompok yang disembah secara terang-terangan yang akhirnya orientasi politik tidak lagi dijadikan instrumen untuk menempuh kebaikan dan pengabdian dalam mewujudkan kesejahteraan melainkan dijadikan lahan investasi dan larinya pemimpin-pemimpin yang zholim. Merebut hati rakyat kini berubah menjadi berebut tahta kekuasaan.(BM)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak