Saat kita membicarakan tentang pendidikan di Indonesia, pertanyaan mendasar yang harus kita tanyakan adalah untuk siapa sebenarnya pendidikan ini? Apakah untuk rakyat, peserta didik, atau untuk negara? Ketika kita mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945, alinea keempat dengan jelas menyatakan bahwa tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya kontradiksi yang memprihatinkan.
Pendidikan untuk Rakyat atau Negara?
Secara teoritis, pendidikan seharusnya berorientasi pada pengembangan individu, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu, beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, ironisnya, arah tujuan pendidikan ini ditentukan oleh negara melalui kurikulum yang kaku dan sering kali tidak relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Kurikulum ini kemudian sering kali lebih mencerminkan kepentingan pemerintah daripada kebutuhan peserta didik.
Jika pendidikan benar-benar untuk rakyat/peserta didik, mengapa peserta didik harus membayar biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal? Beban biaya pendidikan ini menjadi penghalang besar bagi banyak keluarga yang ingin menyekolahkan anak-anak mereka. Padahal, seharusnya pendidikan adalah hak dasar yang dijamin oleh negara tanpa membedakan status ekonomi. Terlebih lagi baru-baru ini Sekretaris Jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi bersifat tersier, bukan kewajiban, tentu pernyataan demikian sangatlah kontradiksi dan kontroversial, karena sebagai lembaga yang seharusnya dipercayai dalam memprioritas keberlangsungan pendidikan, malah sebaliknya menampakan lembaga ini mulai kehilangan integritasnya.
Problematika dan Faktor Penghambat Pendidikan
Masalah dalam sistem pendidikan kita tidak berhenti di situ. Banyak faktor yang menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang optimal. Pertama, adanya ketimpangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Banyak sekolah di daerah terpencil yang kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar yang kompeten. Kedua, kualitas pendidikan yang rendah akibat kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan zaman. Kurikulum yang ada sering kali tidak mampu mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi.
Selain itu, praktik komersialisasi pendidikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab telah menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis yang menguntungkan. Sekolah-sekolah swasta, terutama yang berkualitas, mematok biaya yang sangat tinggi sehingga hanya bisa diakses oleh kalangan menengah ke atas. Sementara itu, sekolah negeri sering kali kekurangan dana dan fasilitas.
Harapan untuk Pendidikan yang Lebih Baik
Jika tujuan pendidikan yang diamanatkan oleh undang-undang dapat dilaksanakan secara optimal, dapat dibayangkan betapa makmurnya negara kita. Bayangkan sebuah bangsa yang terdiri dari individu-individu yang berilmu, beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Mereka akan menjadi penggerak kemajuan bangsa, menciptakan inovasi, dan menjaga moralitas dalam setiap aspek kehidupan.
Oleh karena itu, perlu adanya reformasi mendasar dalam sistem pendidikan kita. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa pendidikan benar-benar gratis dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Kedua, kurikulum harus dirancang sedemikian rupa sehingga relevan dengan kebutuhan peserta didik dan perkembangan zaman. Ketiga, pengawasan yang ketat harus dilakukan untuk mencegah praktik komersialisasi pendidikan yang merugikan rakyat.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan menentukan masa depan bangsa. Sudah saatnya kita mengembalikan pendidikan kepada tujuan aslinya: mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Jika tidak, kita hanya akan menciptakan generasi yang terjebak dalam siklus ketidakadilan dan ketidaktahuan.