Puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah disunahkan bagi
orang yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji (tidak sedang wukuf di
Arafah). Hal ini sesuai dengan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satunya
dari Abu Qatadah yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Puasa pada
hari Arafah menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang”
(HR jemaah ahli hadis kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi).
Dalam
hadis lain yang diriwayatkan oleh ‘Ikrimah, ketika ia menemui Abu Hurairah dan
menanyakan tentang puasa pada hari Arafah di padang Arafah, Abu Hurairah
menjawab bahwa Rasulullah SAW melarang puasa pada hari Arafah di padang Arafah
(HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah). Dari sini, tampak bahwa puasa Arafah
dianjurkan bagi mereka yang tidak sedang berada di padang Arafah.
Secara
ideal, puasa Arafah dilakukan pada hari yang sama dengan para jamaah haji yang
sedang wukuf di Arafah. Mengingat perbedaan waktu antara Arab Saudi dan
Indonesia hanya sekitar empat jam, hal ini memungkinkan kita di Indonesia untuk
mengikuti puasa pada hari yang sama. Indikasi bahwa Nabi SAW biasa berpuasa
pada tanggal 9 Zulhijah dikuatkan oleh beberapa hadis lainnya.
Dari
Maimunah, istri Nabi SAW, diriwayatkan bahwa orang-orang pernah ragu apakah
Nabi SAW berpuasa pada hari Arafah. Maimunah kemudian mengirimkan kepada beliau
wadah berisi susu saat beliau sedang wukuf, dan beliau meminumnya di hadapan
orang banyak (HR al-Bukhari dan Muslim).
Demikian juga dari Ummu al-Fadl binti al-Harith yang meriwayatkan bahwa
orang-orang berbantahan tentang puasa Nabi SAW pada hari Arafah. Sebagian
mengatakan beliau berpuasa, sebagian lagi mengatakan tidak. Ummu al-Fadl
kemudian mengirim semangkok susu kepada Nabi SAW saat beliau sedang berada di
atas untanya, dan beliau meminumnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perlu diketahui bahwa Nabi SAW hanya melaksanakan haji sekali dalam
hidupnya, yaitu saat Haji Wada’. Keraguan para sahabat tentang puasa Arafah
saat wukuf di Arafah menunjukkan bahwa mereka sudah mengenal puasa Arafah
sebelum mereka melaksanakan haji bersama Rasulullah SAW. Al-Hafiz Ibn Hajar
mengomentari hadis ini dengan menjelaskan bahwa perselisihan para sahabat
tentang puasa Nabi SAW di hari Arafah menandakan bahwa puasa Arafah sudah
dikenal di kalangan sahabat dan biasa mereka lakukan saat tidak sedang safar.
Pada dasarnya, puasa Arafah, wukuf di padang Arafah, dan tanggal 9
Zulhijah adalah satu kesatuan yang terjadi pada hari yang sama. Ibn Qudamah
menjelaskan bahwa hari Arafah adalah hari kesembilan di bulan Zulhijah karena
wukuf di padang Arafah dilakukan pada hari tersebut.
Namun, berdasarkan penjelasan di atas, Nabi SAW dan para sahabat sudah
terbiasa puasa pada hari Arafah meskipun tidak ada wukuf di padang Arafah oleh
umat Islam saat itu. Ini menunjukkan bahwa penamaan puasa Arafah tidak
dikarenakan adanya jamaah haji yang sedang wukuf di padang Arafah, tetapi puasa
yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah.
Dengan demikian, puasa Arafah yang dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah,
meskipun di Indonesia berbeda dengan hari wukuf di Arafah, tetap memiliki
keutamaan yang sama. Hal ini memberikan kesempatan bagi umat Islam di seluruh
dunia untuk mendapatkan keutamaan puasa Arafah dan menghapus dosa-dosa setahun
yang lalu dan setahun yang akan datang, sebagaimana yang dijanjikan oleh
Rasulullah SAW.
Referensi:
Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammdiyah, “Puasa Arafah, Haruskah Bertepatan Dengan
Wukuf?”,
https://fatwatarjih.or.id/puasa-arafah-haruskah-bertepatan-dengan-wukuf/,
diakses pada Kamis, 13 Juni 2024.
Artikel diambil dari Muhammadiyah.or.id