Taring Pergerakan IMMawati

Ilustrasi by : Rahma id

Keberadaan IMMawati di dalam IMM terkadang memang memunculkan kebiasan dalam memahami organisasi. Kebiasan tersebut menimbulkan tanda tanya, apakah Immawati hadir sebagai pelengkap gerakan IMM, dari kalangan perempuan layaknya Aisyiyah terhadap Muhammadiyah, yang konsennya menjalankan misi perempuan atau memegang peran utuh yang aktif sekaligus produktif mencetak kader perempuan?. 
Secara mendasar, IMM sebagai sayap dakwah harus mengambil peran utuh, begitupun IMMawati di bagian kemahasiswaan, keagamaan, dan kemasyarakatan, IMM membutuhkan awak kapal yang utuh (kalangan laki-laki dan perempuan) untuk menjalankan misi dakwahnya. 

Selain itu, IMMawati menjadi bagian penting sebagai wadah perkaderan perempuan muda dari kalangan akademisi khususnya intelektual muda Muhammadiyah. Dengan adanya bidang IMMawati tentunya IMM memiliki tawaran dakwah yang luas. 
Tidak sedikit Immawati yang berhasil menjadi ketua umum ditataran komisariat maupun cabang, bahkan ada juga yang lulus sampai tataran pusat dengan prestasi yang membanggakan (meskipun bukan sebagai ketua umum). 

Hal ini membuktikan, dalam IMM ada kesamaan hak antara IMMawan (laki-laki) dan IMMawati (perempuan) untuk memimpin dan mengambil peran strategis. Hal ini pula menjadi bukti bahwa keberadaan IMMawati bukan sekadar pelengkap gerakan, melainkan menjadi kekuatan tersendiri, serta warna bagi IMM.

Kemudian bagaimana intensitas Peran IMMawati di ruang Publik?. Hal ini menjadi PR besar bagi kalangan kader IMM lebih khusus Bidang Immawati untuk bagaimana menumbuhkan semangat keperempuanan dalam merespon dinamika dan problematika yang tengah melanda situasi dan keadaan perserikatan, bangsa dan kemanusiaan. Maka, untuk menjawab PR ini IMMawati mesti menumbuhkan kecemasan dan kekhawatiran sehingga dapat menawarkan solusi yang relavan, yaitu dengan berupaya memperbaanyak refleksi yakni menata bagaimana perjuangan tokoh-tokoh perempuan dalam membela bangsa ini.

Kartini adalah sosok pejuang pembela hak kaum perempuan. Terlepas dari kontroversi kaum perempuan mana yang dia bela, karena pada saat itu masyarakat terpecah berdasarkan struktur sosial dan ikatan primordialisme yang ketat. 

Sosok Cut Nyak Dien juga merupakan salah satu sosok pendekar' perempuan yang mampu membuktikan kesosokannya dengan turun ke medan perang. Selanjutnya, Nyai Walidah (istri Kiai Dahlan) yang menjadi penggerak bagi kelompok masyarakat perempuan dengan membangun Sapatresna cikal bakal terlahirnya wadah untuk perempuam yakni Aisyiyah. Melakukan perkaderan perempuan sehingga kini eksis mewarnai dakwah kemasyarakatan sebagai ortom Muhammadiyah. Mereka adalah tokoh perempuan (yang juga pahlawan nasional) yang memiliki karakter masing- masing dalam memperjuangkan keadilan. RA Kartini bergerak dengan kemampuan intelektualnya, Cut Nyak Dien dengan otot dan senjatanya serta Nyai Walidah dengan kelompok atau organisasi perempuan yang dibentuknya.

Di ruang publik, peran perempuan dan laki-laki saat ini menempati posisi yang setara. Artinya, tidak ada batasan bagi perempuan untuk menjalankan tugasnya hanya di wilayah domestik, dalam paradigma masyarakat tradisional, hanya mengurusi urusan dapur, sumur, dan kasur. Tak sedikit perempuan menjadi pejabat publik, kaum muda perempuan yang menjadi volunteer/relawan, aktivis, maupun pemimpin organisasi. Lihat saja susunan pemerintahan saat ini (Kabinet Kerja) yang menampilkan banyak tokoh perempuan. Begitu pula di ranah sosial, misalnya dalam tanggap bencana ada peran perempuan atau ada juga perempuan yang bergerak menciptakan pusat belajar masyarakat, taman baca, dan pembinaan di suatu daerah.

Dengan begitu, seyogyanya IMMawati memiliki peran potensial untuk mengembangkan diri (ber-fastabiqul khairat), seperti yang dilakukan ketiga tokoh perempuan Indonesia tadi. Selain itu, posisi Immawati juga sentral di dalam kepemimpinan/kepengurusan IMM. Khairun Nisa dalam buku "Dalam Satu Masa" menyebutkan tugas IMMawati diantaranya menjadi partner pendamping IMMawan, agen perubahan, pengeksekusi strategis aksi perempuan di segala bidang, kontrol terhadap dinamika kelembagaan.

Maka, tugas IMMawati tidak hanya mengurusi perihal keperempuanan, tapi juga mengurusi kemanusiaan dalam berbagai aspek (sosial, agama, budaya, politik, maupun ekonomi), sebagai konsekuensi logis peran utuh yang diembannya. Peran utuh tersebut menuntut IMMawati menjadi perempuan yang progresif sejak dalam pikiran. Tentunya, dengan memunculkan ide-ide dan gerakan-gerakan baru, guna menjawab tantangan dan permasalahan global.

Saat ini, musuh kita (IMM) tak seperti apa yang dihadapi Cut Nyak Dien, Nyai Walidah, dan Kartini dahulu. Tapi, lebih kepada pelurusan paradigma perkembangan pergaulan kaum muda serta kekerdilan berpikir internal yang terus diperlihara. Problematika yang terjadi saat ini, yang pertama adalah tren yang tercermin dari gaya hidup berbasis teknologi digital. Tidak jarang, kaum perempuan menjadi objek sasaran dari adanya kejahatan digital dengan maraknya media sosial yang kadang digunakan tidak pada tempatnya. Misalnya, mengumbar foto-foto yang bersifat pribadi, yang dapat mengundang berbagai macam kejahatan/kemungkaran.

Selain itu, tren mengenai hijab atau jilbab pun menjadi persoalan apalagi dengan adanya isu bahwa Indonesia akan menjadi pusat tren hijab internasional, karena dinilai memiliki varian gaya yang dalam sudut pandang modern disebut modis. Masalahnya, fokus dunia adalah kepada tren fashion-nya bukan kepada esensi hijab yang digunakan untuk menutup aurat. Hal ini pun akan menjadi persepsi yang salah, ketika kita menjalankan sesuatu yang sebenarnya bernilai ibadah tapi hanya dilakukan demi kebutuhan fashion yang kadang menabrak ketentuan agama.

Kedua, yaitu pergaulan. Pergaulan di kalangan kaum muda saat ini tidak hanya terbatas di ruang kelas dan lingkungan saja. Tapi, kelompok-kelompok yang gemar jalan ke mal atau sekadar nongkrong di warung/kantin biasanya waktu hanya mereka habiskan dengan nongkrong dan jalan-jalan (berbelanja di mal), bagi sebagian dari mereka ada yang antipati terhadap organisasi, apalagi organisasi dakwah.

Ketiga, yaitu cara berpikir kerdil. Menurut Nithzche, dikutip Eko Prasetyo, lebih baik berbuat jahat daripada berpikiran kerdil (Bangkitlah Gerakan Mahasiswa). Artinya, kebaikan itu harus dikerjakan, bukan hanya dipikirkan atau didiskusikan. Jika hanya menjadi sebatas wacana maka kita akan kalah langkah oleh kejahatan-kejahatan, meskipun sifatnya kecil. Apalagi, kejahatan yang besar meskipun dalam Islam berniat baik sudah dicatat sebagai pahala.

IMMawati berpikir kerdil ketika memikirkan dunianya saja. Sebagai wadah perkaderan perempuan, IMMawati harus bisa bergeliat menunjukkan taringnya diberbagai lini dengan bekal intelektualitas, humanitas, dan religiusitas IMMawati akan diperhitungkan di mana pun dia berada. Sedangkan dengan pola pikir kerdil, IMMawati hanya akan berfokus pada masalah keperempuanan yang berkaitan dengan ranah domestik tadi yang seakan-akan memisahkannya dari gerakan IMM secara keseluruhan.

Dengan persoalan yang demikian, hendaknya kita bisa menerawang tentang apa saja yang sebaiknya dilakukan dan dikembangkan IMMawati dalam mengawal pergerakan IMM. Pertama, melakukan pelurusan terhadap tren yang berkembang atau membuat tren baru untuk mengimbangi tren tersebut. Kedua, bersifat inklusif dalam bergaul, alias tidak pandang bulu. Dan ketiga, memperkuat pola kaderisasinya, sebagai ujung tombak perkaderan perempuan.

Tren seperti yang sudah dijelaskan di atas merupakan suatu produk yang tercipta dari kebutuhan zaman. Tren akan selalu berubah dan selalu dimonopoli oleh kepentingan dan permintaan pasar. Siasat untuk melawannya adalah dengan dakwah pencerahan atau dengan membuat tren tandingan.

Siasat dakwah yang mencerahkan harus dimulai dari pola pikir yang sesuai atau melintasi zaman. Artinya, dengan ide-ide kreatif dakwah bisa dilancarkan. Misalnya, menggunakan media sosial yang saat ini sangat didominasi oleh kaula muda. Isinya bisa dengan unggahan yang berisi pelurusan terhadap tren-tren yang berkembang soal hijab syar'i misalnya atau tentang kewaspadaan mengunggah foto.

Sedangkan tren tandingan, perlu dilakukan secara berjamaah (membangun jaringan kelompok). Jika ada kelompok hijabers yang lebih menonjolkan sisi modisnya, maka IMMawati bisa membuat tren baru dengan kelompok hijab modis tapi syar'i misalnya yang kegiatanya bukan hanya menciptakan tren model fashion, tapi juga mengkaji dasar-dasar hukumnya dan melakukan aksi-aksi kreatif- reflektif.

Pergaulan di kalangan kaum muda hari ini cukup menggelisahkan. Jadi, IMMawati harus mulai membuka diri dengan inklusivitas tersebut, IMMawati akan mampu menjadi corong dakwah yang luas. Misalnya, membuka pergaulan, jadi tidak hanya dengan yang berjilbab panjang misalnya. Sedangkan sasaran dakwah kita tidaklah hanya untuk mereka, tapi yang gemar nongkrong misalnya, entah itu di mall, warung atau kantin.
Dengan membuka lahan dakwah di setiap sudut tongkrongan kaum muda, IMMawati bisa memberikan warna, bukan sebagai pendakwah yang menggurui. Tapi, menjadi teman untuk sama-sama mengingatkan dalam kebaikan dan menjauhi kemungkaran.

Selanjutnya, dengan memperkuat basis kaderisasi IMMawati. Yakni, meneguhkan jati diri IMMawati yang progresif yakni bernalar kritis, berwawasan global, dan memiliki loyalitas yang kuat terhadap perjuangan IMM. Ini tentunya perlu dibangun di setiap sudut kehidupan IMMawati. Misalnya, mengkaji persoalan kemanusiaan yang bersifat universal maupun sosial-budaya remaja dan kaum muda dalam forum formal maupun nonformal, tau dalam SPI tahun 2010 lebih menekankan kepada pemahaman gender yang juga dapat membongkar pola pikir yang kerdil tadi. Karena pada dasarnya semua kader baik IMMawan maupun IMMawati, memiliki potensi dan hak yang sama.

Kesimpulannya, alangkah baiknya apabila IMMawati mampu mengambil peran dalam setiap langkah gerakan IMM, maupun dunia luar, tanpa harus merasa kerdil. Tentunya, dengan prinsip-prinsip dakwah yang dimiliki dan sesuai dengan ideologi IMM. Jadi, IMMawati maupun IMMawan, dalam konteks gerakan, tidak ada sekat dikotomis yang membatasi ruang gerak. Selama itu masih sesuai dengan aturan organisasi, standar perkaderan, dan nilai-nilai moral yang berlaku. 


Penulis : Amin Rais (Ketua PK IMM STKIP Al Amin Dompu)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak