Transisi demokrasi dalam krisis ekonomi yang ikut melahirkan banyak ranjau bagi konsolidasi demokrasi. Tesis bahwa demokrasi tumbuh subur dalam system ekonomi pasar memiliki paradoks tersendiri yang harus dipahami. Dalam ekonomi pasar, diasumsikan pelaku ekonomi bisa tumbuh subur karena perekonomian tidak didikte oleh negara.
Tumbuh-suburnya pelaku ekonomi memberi basis kuat bagi kemandirian dan partisipasi politik. Disisi lain logika modal (kapitalis) selalu berpihak pada upaya mengoptimalkan keuntungan dan kepentinganya sendiri (self interest) dengan mengabaikan arti “kemaslahatan Bersama” . Jika hal itu terjadi, demokrasi yang bermaksud memberdayakan demos (secara etimologis berarti rakyat jelata atau miskin) bisa terjebak dalam aneka kepentingan segelintir orang.
Di negara-negara demokrasi maju, situasi paradoks ini dipecahkan dengan konsepsi negara kesejahteraan. Intinya makin tinggi pertumbuhan ekonomi dan penetrasi kapital, makin intens regulasi negara membatasi aspek destruktif dan ekspansi pasar.
Di Indonesia, pergeseran kearah sistem politik demokrasi yang membawa gelombang aspirasi neoliberal dalam perekonomian terjadi saat negara yang memiliki trasdisi belum menjadi negara berkesejahteraan. Penetrasi kapital dan kebijakan pro-pasar ditengah perluasan korupsi serta lemahnya regulasi negara dan pelaku ekonomi kebanyakan memberi peluang merajalelanya predator dan raksasa memangsa pelaku ekonomi menengah dan kecil. Ekspansi predator besar tak hanya dunia usaha. Tapi menyusup ke perumusan perundang-udangan bahkan sampai pemilihan pejabat daerah.
Lemahnya komitmen pemerintah terhadap pemberdayaan sector rill mengandung konsekuensi kelumpuhan ekonomi, terutama usaha menengah dan kecil, yang menimbulakan angka pengangguran tinggi. Maka, pembiayaan kontestasi demokrasi yang padat modal tidak bisa gotong royong dalam skala luas, tetapi lebih dikuasai sejumlah kecil pemodal besar. Situasi inilah yang yang menimbulkan isu, bahwa transisi demokrasi di Indonesia terjebak oligarki.
Benar, dari prosedur demokrasi, Indonesia mencatat kemajuan penting. Namun, konsolidasi demokrasi menghendaki perhatian pada segi-segi substansif. Di benak rakyat yang mengalami penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekedar penghapusan konstitusi pilitik yang represif dan penggantian para pemimpin otoriter.
Demokrasi merepresentasikan kesempatan dan sumber daya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan social yang lebih adil dan manusiawi. Karena itu, konsolidasi demokrasi harus menjamin esensi demokrasi yaitu pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik. Elemen penting dalam legitimasi politik adalaj membuat system politik responsif terhadap usaha warga mendapatkan kebebasan dasarnya. Stabilitas pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berarti tanpa perlindungan atas hak-hak ekonomi (untuk bekerja dan berusaha), social dan budaya warga.
Dalam Hukum, seseorang dinyatakan bersalah ketika dia melanggar hak orang lain. Dalam etika, seseorang sudah dianggap bersalah saat dia berpikir untuk melanggar hak orang lain. (Immanuel Kant)
Dalam politik, Niccolo Machiavelli memandang bahwa hukum-hukum moralitas itu tidak diperlukan dalam praktik politik. Namun selama ini kita menganggap bahwa kekuasaan hanya sah dilakukan bagi penguasa yang memiliki karakter moral yang baik, dan bahkan banyak orang yang menganggap bahwa kekuasaan hanya bisa dipertahankan jika mengikuti standar moral masyarakat yang baik.
Tapi bagi Niccolo machiavelli tidak demikian, politik bagi Machiavelli adalah tentang bagaimana memperoleh kekuasaan dan mempertahan kekuasaan, Maka sebenarnya apapun bisa dilakukan demi mempertahankan kekuasaan dan memperoleh kekuasaan, meskipun itu dengan cara-cara yang jahat atau dengan cara-cara yang keji dan tidak bermoral.
Bagi Machiavelli moralitas itu tidak diperlukan dalam politik, justru yang sangat diperlukan itu adalah kekuatan dan strategi yang efektif. Meskipun penerapan kekuatan dan strategi efektif tersebut melanggar hukum-hukum moral dalam masyarakat, dan jujur saja bahwa pandangan politik machiavelli ini paling banyak digunakan oleh para politikus di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan sekarang kita sudah melihat bagaimana karakteristik dari gagasan politik Machiavelli yang kemudian mulai di praktekkan di dalam pemilu 2024 ini.
Namun apakah dengan begitu Machiavelli anti dengan penguasa yang bijaksana, tentu saja tidak, tapi sebetulnya beliau justru memberi tahu dan membocorkan tentang bagaimana keburukan politik yang dipraktekkan oleh kekuasaan.
Tags
Opini