Nurul Khotimah Team Perempuan Merah |
Bumi dan Perempuan adalah dua nyawa kebahagiaan, dari perut keduanya melahirkan benih kehidupan. Bumi dengan keautentikan alam tiada tandingan, dan perempuan yang menghadirkan hamba-hamba panutan. Sekilas terlewat dalam refleksi sebagai hamba perempuan, muncul pertanyaan singkat, “kenapa objek keindahan selalu mengarah pada bumi dan perempuan sehingga keduanya dianggap buas melalaikan hamba lainnya,?” begitulah ungkapan seorang perempuan dengan retinanya menatap cantik warna jingga karya indah Tuhan (kontemplasi).
Ada yang menarik ketika membahas bumi perempuan, keduanya punya koneksi kuat dan saling bersinergi. Sebut saja ‘bumi pertiwi’, bukan tanpa hal nama itu menjadi slogan unggulan dalam negeri. Kata pertiwi dalam bahasa inggris yaitu ‘motherland’ yang berarti tanah air. Tentu saja kata mother mengarah pada sifat feminim. Diksi yang digunakan bukan ‘girl’ atau ‘women’ namun mother yang memiliki arti ibu. Pemaknaan ini menandakan bahwa bumi dan perempuan terkoneksi secara sakral dalam janin dan perutnya terdapat anugerah Tuhan tiada bandingan.
Dalam gerakan feminis yang mengkaji tentang ekofeminisme, di dalamnya dominasi dan diskriminasi lingkungan hidup maupun perempuan dari problem yang serupa (baca ekofeminisme). Maka problematika ini ikut mendukung bagaimana eratnya hubungan bumi dan perempuan hari ini. Sisi lain bisa dikuliti juga yaitu mengenai lagu yang sering terdengar ‘Ibu Pertiwi’. Kenapa harus di awali dengan ibu? Jelas sekali lagi-lagi diksi yang digunakan mengarah pada feminim (ibu) bukan (bapak) atau tertuju kepada maskulin. Lagu ini secara kontekstual menggambarkan tentang suasana bumi yang terporak-poranda oleh kegalauan yang sama ironisnya dengan persoalan perempuan.
Di bumi, hujan dan fenomena langka lainnya yang seharusnya rahmat dianggap sebagai kutukan, hijau rindang menjadi lahan apik untuk digunduli, sampai ketika bencana terjadi tetap kembali menyalahkan perut bumi. Tegukan ketakutan yang sama juga mengarah pada hamba perempuan, menjadi perasa atau pemikir dijadikan sebuah pilihan, standarisasi soal fisik yang seharusnya sudah basi tapi belum juga teratasi. Pada akhirnya ketika dihamili, perempuan menjadi objek aborsi dengan tudingan buruk sana-sini. Sangat miris, bumi perempuan dalam perut keduanya yang suci tapi dikutuk begitu keji.
Begitulah kiranya bumi perempuan bekerja, buruk dan baik bersama-sama. Suka dan duka berjalan beriringan. Keduanya berperan bersautan menjamah rasa, cinta, dan karsa. Bagaimana seandainya dua hal tersebut stabil tanpa beban berat yang diemban masing-masing. Tapi jangan berbicara seandainya, berkhayal sangat tidak enak terdengar karena kausalitas akan tetap bekerja dengan gigih. Apapun yang di tuai hamba, akan kembali kepada hamba.
Apa yang bisa disimpulkan dari bumi perempuan? Sederhananya, semua pasti butuh tempat tinggal dan suasana rumah yang aman. Jangan rusak keduanya niscaya timbal balik yang diberikan akan jauh lebih paripurna. Beri perlindungan dan ketahanan, jaga dan rawat, mari melek ekologi dan berbagai penindasan terhadap perempuan. Sekarang bukan lagi untuk saling memaki, tidak ada faedahnya. Biaskan jiwa raga lalu koneksikan alam pikiran untuk menyantap suguhan keaslian bumi dan kebermanfaatan hamba perempuan di semua lini. Keberadaan peran dan posisi ini tentunya tanpa sedikitpun menafikkan posisi kaum laki-laki sama sekali. Bekerja secara mutual dan berelasi secara sehat pastinya. Sekian.